Puthut Ea Mojok

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu: Move On-lah dengan Baik

Judul: Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Penulis: Puthut Ea
Penerbit: Mojok
Jumlah Halaman: vi+256 hlm.
ISBN: 978-602-1318-55-3
Cetakan Keenam: Agustus 2017

Saya baru tahu pendiri Mojok.co adalah seorang Puthut Ea, hehe. Begitu banyak buku beliau berseliweran di IG saya, lama-lama kok tertarik pengen baca. Apalagi sepertinya tulisannya dekat dengan sisi realita kemanusiaan, saya suka sekali dengan tulisan sejenis ini.

Alhamdulillah ketika Mbak Suci Sophia mengadakan kuis kecil-kecilan, saya mendapatkan bukunya. Terima kasih ya Mbak :’)

Sinopsis buku

Karena memang tidak pernah ada hidup yang sempurna, atau mari bermain kata-kata, justru karena tidak sempurna itulah, kamu sempurna sebagai manusia. (hlm. 98)

Cinta selalu menjadi topik menarik yang seringkali dibahas dimana-mana. Maka begitu pula dengan Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Tentang seorang laki-laki tak bernama yang pernah terjebak pada masa lalu. Dan bertemu dengan banyak perempuan yang baru hadir, yang sayangnya tak lantas menjadikan dirinya untuk berpindah ke lain hati. Ia masih ‘mencintai’ seseorang di masa lalunya.

Ia adalah seorang yang peragu. Ia tidak berniat menyakiti hati perempuan lain. Itu sebabnya dia selalu lebih memilih sendiri. Dan belum jua menikah meski lingkungan sekitar mendesaknya.

Saya sebal dengan aku

Novel ini memang ditulis dengan sudut pandang orang pertama, aku. Tidak disebutkan namanya. Jadi sepanjang cerita ya memang hanya “aku” saja.

Jujur saya sebal sekali dengan si tokoh aku ini. Dia menyebalkan sekali, tidak tegas, dan peragu. Tapi kenapa saya membayangkannya dia adalah sosok yang tampan ya huhu. So cool gitu lho. Apalagi pekerjaannya sebagai penulis. Haha bisa jadi karena dia suka menulis ya wkwk. Laki-laki yang suka menulis selalu memesona bagi saya.

Kekurangan buku

Untuk awalnya, cukup melelahkan sekali baca novelnya. Terlalu banyak cerita yang diselipkan, malah terkesan alurnya jadi melebar kemana-mana. Jadi agak bertele-tele. Dan menurut saya, kalau itu dihilangkan pun tidak akan pengaruh apa-apa pada ceritanya. Hanya sebagai detail, yang kayaknya tidak begitu perlu juga ditulis. Bahkan saya sempat mengira ini kumpulan cerita pendek yang ceritanya memang terpisah. Karena memang tidak nyambung.

Di tengah juga kita akan dibuat bingung dengan pergantian sudut pandang menjadi orang kedua, kamu. Tapi semakin ke tengah, saya paham, kayaknya si kamu itu yang juga adalah aku. Jadi semacam si aku sedang berkontemplasi a.k.a merenung gitu.

Untuk tokoh-tokoh perempuannya juga banyak tidak bernama. Alhasil membingungkan juga, ini perempuan yang tadi, yang baru, atau yang mana. Untunglah di bab selanjutnya ada penjelasannya, fiewh.

Banyak pesan baik yang ingin disampaikan

Terlepas dari kekurangan-kekurangan di atas, saya bersyukur bisa ‘tahan’ baca novel ini sampai selesai. Karena akhirnya saya bisa paham arah cerita dan pesan-pesan yang ingin disampaikan. Dan huhu bagus-bagus banget pesannya, terutama masalah-masalah kemanusiaan, cinta, bahkan ada pelajaran parenting dan healing yang terselip.

Anak harus diajari untuk melewati ketidaknyamanannya sejak kecil. (hlm. 209)

Kunci meditasi adalah keteguhan. Pertama, pasti kamu butuh waktu untuk bisa diam. Tapi bertahanlah. Dan jangan tegang. Ikutilah napasmu. (hlm. 211)

Makanya buku ini penuh coretan, karena memang banyak kutipan yang bagus. Sampai menjelang ending pun, saya cukup puas. Dan masih pengen kasih buku ini 4 bintang! Karena banyak hal yang saya amin-i dari banyak hal dalam novel Mojok ini.

Buku ini juga rupanya buku lama yang sempat diterbitkan oleh Penerbit Orakel pada tahun 2005. Yang kemudian dicetak ulang oleh Mojok tahun 2016 silam.

Move on-lah dengan baik

Yang jelas, kisah si aku cukup menjadi kisah yang melankolis bagi saya pribadi. Saya beberapa kali harus menahan sedih hiks.

Pelajarannya adalah, kita tidak bisa memulai kisah baru, sebelum menyelesaikan masalah-masalah diri kita yang masih terjebak di masa lalu. Karena ketika kita paksa diri untuk memulai ‘bertanding’ saat terluka, yang ada kita hanyalah makin terluka. Singkatnya, move on-lah dengan baik. Tanpa terbayang-bayang lagi masa lalu 🙂

Ingatlah, salah satu tugasku yang paling menyenangkan adalah mencoba memberi harga pada berbagai peristiwa, juga hal-hal yang sepintas dianggap tidak menyenangkan. (hlm. 238)

Thank you for not comment out of topic

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.