Hujan Matahari: Cinta dan Kehidupan

Hujan Matahari.delinabook

Judul: Hujan Matahari
Penulis: Kurniawan Gunadi
Penerbit: Canting Press
Jumlah Halaman: xii +206 hlm.
Cetakan Ketiga: Februari 2015
ISBN: 978-602-19048-1-7

Hujan dan matahari adalah perpaduan yang unik, saling bergantung, menjadi sebab dan akibat. Hujan dan matahari memaksa orang-orang berlindung di balik tempat-tempat teduh. Kecuali orang-orang yang berani menghadapi dingin dan terik. (hlm. xi)

Begitulah ungkapan pembuka penulis Hujan Matahari ini. Sebuah perpaduan yang mungkin jarang dipikirkan banyak orang. Tapi mungkin benar apa yang dikatakan, “hujan dan matahari memaksa orang berlindung di balik tempat-tempat teduh.” Jika boleh menginterpretasikan, barangkali itulah yang menjadi tujuan penulis mengambil filosofi ini. Dimana setiap orang selalu memiliki sebab dan akibat dari laku perbuatannya. Yang tak jarang memaksa mereka untuk berlindung dari – hmm sebut saja – kesalahan. Tapi ah, lagi-lagi ini hanya interpretasi saya saja 🙂

Hujan Matahari sendiri merupakan kumpulan cerita dan prosa. Yang sebagian besarnya bisa saja disebut fiksi. Dengan tajuk Payung, Mas Gun, begitu panggilan akrab dari Kurniawan Gunadi, membaginya menjadi tiga bagian. Gerimis, Hujan, dan Reda. Jujur, saya agak tidak paham dengan pembagian ini. Sebab rasanya semua tulisan memiliki konten yang nyaris serupa. Seperti tidak ada bedanya. Tentang cinta juga kehidupan.

Cinta adalah ketika kamu merasa energi dan potensimu naik berlipat ganda ketika bersamanya. Dan cintamu membuat hal yang sama kepadanya, bukan justru meniadakannya. (hlm. 21)

“Manusia memiliki batas waktu, hidup pun memiliki batas waktu. Sebaik-baiknya mengisi waktu adalah dengan hal terbaik.” (hlm. 37)

Ah ya, kabar gembiranya akhirnya saya bisa menamatkan buku ini. Setelah tertimbun lama di rak buku. Padahal buku ini sudah saya beli sejak masa awal pre-order. Yap, pada dasarnya saya memang menyukai tulisan-tulisan Mas Gun. Sudah sejak tahun kemarin saya langganan tulisan-tulisannya di Tumblr dan nyaris tidak pernah melewatkan tulisannya. Sayang saja, sekarang saya sudah jarang buka Tumblr hiks.

Apa yang membuat saya suka, sama halnya saya menyukai buku ini. Tidak beda jauh memang. Eh, malah memang sudah ada beberapa tulisan yang ditulis ulang dari blognya. Tulisannya selalu khas. Memiliki pesan yang tersirat yang dibalut dengan bentuk cerita maupun prosa. Barangkali kamu harus membacanya sendiri, sebab terlampau banyak jika dijabarkan satu-satu.

Banyak yang bilang aneh ketika mengetahui bahwa penulis laki-laki tapi seolah-olah lebih memahami perasaan perempuan. Entah karena memang pembacanya kebanyakan perempuan atau tidak. Namun terlepas dari itu, saya setuju dengan pernyataan mereka. Karena memang itulah faktanya, banyak tulisannya yang memihak perempuan. Salah satunya adalah bahwa perempuan sangat menginginkan kepastian dalam suatu hubungan *ups*.

“… Cinta itu omong kosong jika tanpa kepastian.” (hlm. 3)

Perempuan lebih suka dengan laki-laki yang datang dan membicarakan masa depan, bukan masa lalu. (hlm. 5)

“Dari dulu, laki-laki itu pengembara, Anakku. Mereka adalah pengembara yang selalu berjalan ke sana ke mari. Singgah sebentar untuk menikmati suasana, mencari minum, atau beristirahat. Selebihnya dia akan melanjutkan perjalanan. Dan yang bisa memutuskan perjalanan itu hanya satu: pernikahan. Kitalah yang memutuskan perjalanan mereka, membuat mereka menetap pada satu tempat dan menikmati kehidupan bersama-sama. Sebelum ada ikatan pernikahan, laki-laki akan tetap menjadi pengembara meskipun mulutnya bicara ingin tinggal menetap. Kau harus hati-hati, jangan sampai menjadi tempat persinggahan.” (hlm. 30)

Ah terlampau banyak yang tersirat dari kumpulan cerita dan prosa ini. Berikut saya rangkumkan saja kutipan-kutipan yang cukup saya suka:

Ya, seringkali kita sibuk mengurus iman masing-masing tanpa peduli dengan kondisi iman orang lain. Sibuk mengisi pundi sendiri, lupa menengok pundi-pundi tetangga. (hlm. 47)

“Kekayaan itu tidak hakiki, Anakku. Kebahagiaan itulah yang hakiki,” (hlm. 55)

Seseorang yang peduli dengan perasaannya akan memilih maju atau menunggu, ia tidak pernah diam saja. (hlm. 57)

“… jangan pernah menganggap sederhana hal-hal kecil. Dosa kecil itu bukan hal sederhana, Nak. Amanah sekecil apapun, juga bukan hal sederhana. Allah nanti akan menghitung, bahkan yang sekecil zarah pun ada balasannya.” (hlm. 82)

Ukuran harta juga bukan pada apa yang aku simpan atau aku dapatkan, tapi seberapa banyak aku keluarkan untuk kebaikan. (hlm. 96)

Perasaanmu memerlukan pijakan, agar ia bisa berdiri tegak meski badai memporak-porandakan hatimu. (hlm. 108)

Akar kehidupan mestilah kuat. karakter manusia yang memanusiakan. Kelak bila kita telah menjadi orangtua, pastikan akar kehidupan anak-anak kita tumbuh dengan baik dan kuat. Agar kelak bila dia telah menjadi manusia yang utuh, dia memiliki kekuatan untuk mempertahankan dirinya dari terpaan hidup sekaligus memperkuat lingkungan di sekitarnya. (hlm. 111)

Saat seorang manusia bermimpi akan sesuatu hingga di dalam dirinya merasa impian itu begitu tinggi, sampai-sampai merasa seolah-olah tidak mungkin, maka percayalah manusia bisa menjadikannya mungkin dengan bantuan-Nya. (hlm. 114)

Seseorang yang memiliki impian akan fokus pada tujuan dan ketika melihat orang lain mencapainya, ia akan belajar bagaimana cara melakukannya. Bukan sibuk sakit hati atau putus asa seolah-olah impiannya direbut orang lain. Tidak akan ada yang bisa merebut impian kecuali diri kita sendiri yang membunuhnya. (hlm. 114-115)

Allah menyampaikan hikmah, menyampaikan pesan-Nya melalui masalah-masalah. Melalui ujian. Agar kita bisa merasakan dan memahami bahwa dalam sekolah kehidupan segalanya adalah praktikum. Bukan sekadar teori duduk manis di kelas kehidupan. Segalanya adalah bentuk tindakan, perasaan, dialami, dan dipahami. (hlm. 120)

Dalam sekolah kehidupan, tidak penting orang lain lebih pintar atau lebih bodoh. Sekolah kehidupan mengajarkan bagaimana kita menjadi yang terbaik untuk diri kita sendiri. (hlm. 120)

Orang-orang yang bertanya-tanya adalah orang-orang yang pada akhirnya menemukan. Mereka adalah orang-orang yang memilih karena mencari-memahami-menyadari-lantas mengakui. Tidak sekadar menerima saja keyakinan warisan nenek moyang. (hlm. 126)

Dan kita tidak perlu datang untuk orang-orang yang benci. Tidak usah pedulikan. Sebab, kita datang untuk orang-orang yang benar-benar mengharapkan kita. Bukan tentang siapa kita, tapi menyadari bagaimana kita ternyata begitu berharga bagi orang lain. (hlm. 127)

Hidup adalah masalah waktu. Bagaimana kita menjadi sebaik-baik diri kita dalam waktu yang kita miliki. (hlm. 129)

Tidak perlu meminta sesuatu dipercepat atau diperlambat. Ia tidak akan datang jika belum waktunya. Dan waktu bergerak pasti. Bersabarlah dalam setiap detik, maka seluruh hidupmu akan dipenuhi kesabaran. (hlm. 129)

Tidak ada orang yang benar-benar bisa memahami orang lain. Yang ada adalah seberapa lapang hatinya untuk menerima kehadiran orang lengkap dengan karakternya itu dalam hidupnya. (hlm. 134)

Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk memperbaiki diri, berhentilah memberikan penghakiman kepada seseorang atas hal buruk di masa lalunya. Bantulah untuk memperbaiki masa depannya. (hlm. 138)

Berserah diri adalah bentuk kata lain dari mempercayakan hidup sepenuhnya tanpa keraguan sedikitpun pada sesuatu yang kita percayai. (hlm. 142)

Mencintai seseorang adalah mencintai lengkap dengan kehidupannya. (hlm. 144)

Banyak hal yang sering kali kita tunda hanya karena kita merasa belum baik, belum paham agama, belum ini dan itu. Lakukanlah selama hal itu baik tanpa perlu menunggu, Sebab, kadangkala proses itu hanya perlu diawali dengan melakukan. Selanjutnya, proses pemahaman itu akan berjalan seiring. (hlm. 155)

“Jika kamu tidak berharga. Tuhan tentu tidak akan menciptakanmu di dunia ini. Kamu diciptakan karena kamu berharga dan Tuhan ingin melakukan sesuatu terhadap dunia ini melalui tanganmu.” (hlm. 162)

Bila cinta itu hilang atau berganti, bila hal-hal lain di luar itu menggoyahkan kebersamaan, komitmen mengingatkan kita bahwa apa yang kita jalani tidak hanya soal perasaan cinta melainkan lebih jauh dari itu. Ini adalah soal keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. (hlm. 170)

Jika penat dengan kehidupan, barangkali buku ini bisa menjadi penawarnya. Kau akan larut dalam setiap cerita dan prosa yang takkan membuatmu berpikir berat 🙂

Kita tidak bisa menentukan kapan kita mati, tapi kita bisa memilih bagaimana kita mati. Dengan menjaga diri atau dengan sembarang. Dengan baik atau buruk. (hlm. 97)

Tahukah kita? Diri kita dan apa pun yang kita miliki adalah hal yang paling baik untuk kita. Bukan untuk orang lain. Apa yang dimiliki orang lain, itu yang terbaik untuk mereka. Bukan untuk kita. Seandainya kita paham konsep kecil ini, kita tidak perlu iri hati. Sayangnya, di antara kita saling membandingkan. Lalu menyakiti diri sendiri. (hlm. 101)

Thank you for not comment out of topic

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.